Diam itu Emas

Menjelang usia 40 tahun ini, saya juga semakin menyadari betapa ungkapan "DIAM ITU EMAS" benar adanya.

Karena itu, belakangan, saya berusaha untuk memilih diam ketimbang berkata-kata.


Di dunia maya, usaha ini jauh lebih mudah. Saya kerap sudah menuliskan status di FB, atau cuitan di Twitter, atau caption di Instagram, atau chat di Whatsapp pribadi maupun group, tapi kemudian saya batalkan. Kadang saya juga sudah menuliskan komentar atau jawaban, lalu saya batalkan untuk di-submit. Padahal tak jarang, saya bermaksud baik dengan apa yang saya tuliskan. Tapi saya memilih berpikir panjang, lalu mengurungkannya.

Di dunia nyata, usaha ini agak sedikit lebih sulit dijalani. Mulut ini kadang refleks berujar, menjawab, membalas ucapan. Tak jarang, rasa sesal timbul kemudian.


Apalagi, kadang, saya sudah diam, tak ingin merespon, tapi ada tuntutan baik dari dalam diri maupun luar untuk buka suara.

Namun, beberapa rangkaian peristiwa dalam beberapa hari ini membuat saya semakin bertekad untuk DIAM.

Buat apa berkata-kata, sebaik apapun niat kita, jika disalahpahami dan dianggap buruk. Buat apa berkata-kata, sebenar apapun kita, jika tetap dianggap salah. Buat apa berkata-kata, seindah apapun ucapan kita, jika tidak ditanggapi dengan semestinya.

Saya memilih DIAM, daripada kemudian saya terperangkap dalam "su'udzon" atas tanggapan orang lain terhadap kata-kata saya.

Sungguh. Diam itu emas, karenanya, seperti harga perhiasan emas, nilainya tinggi, baik untuk kita jadikan investasi, namun juga sulit untuk 'dikenakan' dalam kehidupan sehari-hari.

Comments

Popular Posts