Mellow dan Dramanya Sang Emak dan Sang Anak (3)


Mata saya perlahan terbuka ketika abinya anak-anak memanggil nama saya dan memberitahukan bahwa kami sudah tiba di stasiun. Saya terdiam sejenak, merasakan bagaimana kondisi tubuh saya pada saat itu. Ternyata masih terasa pusing, namun mual sudah agak berkurang. Akhirnya saya putuskan untuk menguatkan diri dan melawan. Saya yang harus menguasai tubuh ini, bukan saya yang dikuasi oleh tubuh.

Saya bangunkan anak bungsu saya yang juga tertidur di sebelah saya, lalu saya ajak turun dari mobil. Semua urusan koper dan tas abinya anak-anak yang mengatur. Karena ia tahu saya merasa tak enak badan.

Kami jalan ke dalam stasiun dan mengurus pencetakan tiket kereta karena kami membeli secara online. Lalu kami duduk menunggu kereta yang kurang lebih masih setengah jam lagi tiba.

Saya kembali merasa mual. Namun saya lawan lagi. Saya ke konter roti dan membeli teh panas di sana. Perlahan saya minum dan dada terasa hangat, tubuh saya seakan berterima kasih karena segera terasa lebih enak. Saya melihat toko oleh-oleh dan membeli sedikit di sana -- namun ternyata oleh-oleh yang saya beli saat di rumah sudah dalam keadaan kurang bagus, Alhamdulillah pihak produsen tanggap dan bertanggung jawab, mereka mengganti uang saya, tapi sedih juga karena tak bisa membawakan oleh-oleh untuk keluarga.

Setelah itu, saya duduk bersama anak saya yang bungsu dan abinya. Tiba-tiba anak saya yang bungsu memeluk saya dan terisak. Saya sangat terkejut dan saya tanya kenapa. Ternyata saat berpisah dengan kakaknya tadi, dia menahan tangis, seperti pesan saya agar tak menangis saat melepas kakaknya. Masya Allah. Saya yang berpesan, saya yang lemah dan malah terisak, sementara ia berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya.

Tapi di stasiun, dalam pelukan saya, ia lepaskan semua kesedihan berpisah dengan kakaknya. Tangisnya cukup lama dan sulit reda. Saya yang masih merasa tidak fit semakin berusaha menghalau rasa tak enak badan itu. Ada yang membutuhkan saya. Saya tidak boleh lemah.

Saya biarkan ia menangis hingga puas. Mungkin sampai sepuluh hingga limabelas menitan lebih ia terisak. Hingga akhirnya tangisnya mulai mereda dan saya menenangkannya. Bahwa kami bisa bertemu dengan si Kakak sebulan sekali, dia kembali terisak, dia ingin melihat Kakak setiap hari. Saya biarkan lagi ia menangis. Saat mulai mereda lagi, saya ingatkan bahwa ia sudah mendoakan kakaknya agar menjadi ustadzah, dan agar tercapai cita-cita itu, kakaknya harus belajar di pesantren.

Lalu saya ajak ia membahas hal lain, bahwa kami akan segera naik kereta. Kali ini kami hanya memesan tiga kursi karena si Kakak tidak ikut pulang. Pikirannya  segera teralihkan, ia memikirkan, siapa yang harus duduk sendiri nanti. Ia memohon agar dapat duduk dengan saya. Saya katakan, kita lihat nanti. Semata agar pikirannya fokus kepada pembagian kursi di kereta nanti, dan bukan kepada kakaknya.

Kereta pun tiba, kami naik, dan tentu saja si bungsu duduk bersama saya. Alhamdulillah perjalanan malam hari kami menuju Jakarta berlangsung lancar. Begitu pula perjalanan dari stasiun menuju rumah kami.

Hanya saja sepanjang perjalanan, saya kerap menghela napas, menghalau sesak di dada, karena separuh jiwa saya tertinggal nun jauh di sana, dengan jarak terpaut 223 km dari kediaman kami.

Setelah itu, hari berlalu sangat lamban dan rasanya setiap saat saya selalu teringat kepada anak sulung saya. Saya dan adiknya kerap terisak. Rindu terasa sangat menyesakkan dada. Saya pun uring-uringan. Hati tak karuan.

Sepuluh hari pertama perpisahan kami terasa seperti sepuluh tahun. Selang sepuluh hari, saya mendapatkan haid. Astaghfirullah, ternyata kesedihan yang mengacaukan emosi saya sepuluh hari kemarin itu salah satunya juga dipicu oleh PMS, Pre Menstrual Syndrome. Saya baru menyadari kemudian.

Awalnya, sebelum tahu saya sedang PMS, saya sempat kesal kepada diri sendiri. Saya ikhlas dan sangat mendambakan anak mondok di pesantren, tapi kenapa perasaan saya tak karuan seperti itu?! Eh, ternyata bukan sepenuhnya salah saya. Yeah, blame it on the hormones. LOL. Tapi saya jadi sedikit lega. Apalagi tepat di hari kesepuluh, kami para orang tua dikirimi foto dan video kegiatan putri-putri kami. Alhamdulillah, saya semakin tenang. Walaupun ingin rasanya saya menghambur ke sana, hanya untuk memeluk anak saya.

Yah, begitu lah seorang emak, yang sangat lemah, mellow, baper, drama queen, ketika ditinggal remaja putrinya, yang padahal kalau bersama-sama, kerap saling ngambek, saling berdebat, tak selalu sepaham. Tapi saat berjauhan, air mata kerap berlinang karena rindu yang teramat sangat, padahal si emak tahu dan sadar sepenuhnya, bahwa ini adalah yang terbaik untuk si anak.

I sent you there simply because I love you too much, my sweetheart. Demi jutaan pelangi indah yang akan mewarnai segenap usiamu, Nak. Tidak seperti bundamu, yang hingga kini masih menanti secercah pelangi di ujung sisa usia; tak seperti bundamu yang fakir ilmu, sehingga untuk mengamalkan pesan Rasulallah SAW, harus merelakan jarak sejauh 223 km membentang di antara kita.

Sebab kata Baginda Rasul SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu, “Ajarkanlah tiga hal kepada anak-anak kalian, yakni mencintai nabi kalian, mencintai keluarganya, dan membaca Al Qur’an. Sebab, para pengusung Al Qur’an berada di bawah naungan arsy Allah pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, bersama para nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Dan, kedua orangtua yang memperhatikan pengajaran Al Qur’an kepada anak-anak mereka, keduanya mendapatkan pahala yang besar.

Habib Ali Zaenal Abidin Alhamid pernah menjelaskan dalam salah satu tausyiah beliau:


Untuk penjelasan lengkap dari Habib Zaenal Abidin Alhamid, silakan klik

Nak, jika kamu bertanya, kangen nggak Bunda sama kamu? Pastinya sangat kangen, Sayang. Namun insya Allah kangen itu adalah cara Allah untuk mengingatkan Bunda agar mendoakan kamu, menitipkan kamu di dalam perlindungan dan kasih sayang-Nya.

Semoga Allah meridhoi segenap usaha kita ya, Nak. Aamiin ya Robbal 'Alamiin.

(Selesai)

PS: Insya Allah dengan berakhirnya drama 3 babak ini (Babak 1 di sini dan Babak 2 di situ), si Emak akan semakin bertekad untuk tidak terlalu mellow lagi, namun akan tetap sharing kegalauan (jiyah) jika tiba-tiba dada terasa sesak akibat rindu yang merasuk. Hihi...

Comments

Popular Posts