Remaja dan Zona Nyaman

Gaya-gayaan banget ya saya, sok bahas soal remaja? Ya, gimana, karena remaja itu, menurut saya, adalah fase yang paling kompleks. Mau dibilang sudah dewasa, belum. Tapi mau dibilang anak-anak, ya bukan. Dan, kebetulan, I am dealing with my teenage baby now.

Tapi monmaap, saya nggak punya background pengetahuan apapun tentang psikologi remaja. Saya sekadar ingin berbagi pengalaman saya dan remaja saya, si Sulung. Semoga nggak salah-salah amat ya pandangan dan sikap saya? Kalau salah, tolong kasih masukan ya, makasih.

Pertama-tama, dari berbagai sharing dengan sesama orang tua yang memiliki anak remaja, inti dari keseruan kita-kita ini adalah saat si remaja sudah merasa dirinya cukup besar untuk mengambil keputusan sendiri, untuk melakukan semua sendiri. Sementara sebagai orang yang lebih besar (lebih tua maksudnya, hehe) kita bisa melihat bahwa ada sesuatu yang kurang pas (kalau nggak boleh dibilang salah, hihi) pada keputusan dan tindakan mereka.

Tidak mudah, lho, menyampaikan kenyataan itu kepada anak. Selain anak jaman sekarang itu kok kayaknya lebih cerdas, mereka juga lebih banyak mengetahui berbagai hal karena kemudahan mereka mengakses internet (yang saya kesalkan karena tak dapat hindari, secara komunikasi dan aliran informasi tentang kegiatan sekolah ya melalui internet), sehingga mereka bisa mengucapkan kata "tapi" yang diiringi semacam counter attack yang mencengangkan, yang membuat orang tua terkadang harus mikir untuk menimpali atau bahkan hanya bisa terdiam jleb gitu.

Nah! IMHO, kalau sudah begini, orang tua harus punya taktik dan rajin menggali informasi, selain juga berusaha menyelami pikiran para remaja ini.

Kalau saya, jujur, agak mudah sebenarnya, karena si Sulung hampir selalu cerita dan curhat apapun kepada saya. Ya pasti lah ada yang ditutupi, apalagi di usia ini anak juga sudah mulai menyadari bahwa mereka berhak memiliki privasi. Tapi bukan berarti kita nggak bisa menggali lubang yang mereka tutupi itu. Hanya saja, pastikan kita melakukannya tanpa harus terkesan mengganggu wilayah pribadi mereka dan bagusnya sih tanpa mereka sadari. Intinya, pinter-pinternya orang tua lah, hihi.

Satu hal lagi, remaja itu lebih ingin selalu bersama teman-temannya. Sudah lah di sekolah bersama teman, pulang sekolah main ke rumah teman, gaul atau jalan juga sama teman, di rumah chat dan teleponan ya sama teman.

Porsi kita di mana, dong, sebagai orang tua? IMHO, porsi kita semestinya ada di hati mereka.


Ada pernyataan si Sulung yang membuat saya terenyak.

Awalnya adalah ketika saya bingung dengan kelakuannya saat belum mondok dulu. Sikap si Sulung kalau di luar ini dewasa, ngemong, dan mengatur. Sebagai murid, sebagai teman, sebagai ketua ekskul, dll.

Bahkan tak hanya sekali saya mendapat kesan dari orang lain tentang kedewasaannya ini. Saat SD, dari guru-gurunya, yang mengatakan bahwa si Sulung dewasa dalam berpikir dan memecahkan masalah. Juga dari salah seorang wali murid lainnya yang terlibat mengurus kegiatan sekolah bersama si Sulung saat dia kelas 7. "Mbak, anaknya dewasa banget, deh," ujarnya, memuji.

Namun, itu sikapnya di luar. Di rumah? Bisa sebaliknya. Saya tanya, "Kok kamu gitu sih? Di luar kamu bisa dewasa, bertanggung jawab, bisa teratur, bahkan ngatur orang, tapi kenapa kalau di rumah, kalau sama Bunda kayak gini, kayak anak kecil banget?"

Jawabannya inilah yang membuat saya terenyak, "Karena hanya sama Bunda aku bisa nyaman menjadi diri sendiri."

Saya antara haru, kaget, dan yah, banyaklah perasaan lain berkecamuk. Jadi, ternyata saya ini zona nyaman baginya gitu, ya? Istilahnya, kalau dia lagi mau males, ya di depan saya cuek aja dia males. Kalau lagi bete, ya apa adanya, bete aja. Kalau lagi sotoy, ya sotoy aja. Dia nggak perlu pura-pura. Toh, saya tahu betul, dia nggak selalu seperti itu, ada kalanya juga dia melakukan hal-hal yang sangat sweet ke saya, abi, dan adiknya, atau terkadang membantu saya tanpa diminta.

Meski begitu, ternyata di Pondok, ia belajar mengenali dirinya. Ada sifat dan sikapnya yang ternyata bagi sebagian orang terlalu kekanak-kanakan untuk seorang gadis remaja kelas 1 SMA, dan ini tidak bisa ia tutupi, ia terpaksa menjadi diri sendiri di hadapan orang banyak tanpa ia sadari. Dan ini sepenuhnya salah saya yang saat di rumah membiarkannya saat ia ingin bermanja kepada saya, salah saya yang mengambil alih dan membereskan sebagian urusan untuknya. Dan setiap kali saya nengok ke Pondok, atau melalui surat-surat saya untuknya, saya berusaha memperbaiki sisi itu. Sedikit demi sedikit. Insya Allah perlahan-lahan akan ada ada perubahan. Aamiin.

Kembali ke jawaban si Sulung atas pertanyaan saya, ia menambahkan, "Bunda paling tau aku, kalo aku nggak selamanya begitu. Dan, yang paling penting, mau aku kayak gimana juga, aku tau, Bunda tetap nerima aku, tetap sayang sama aku."

Saya baru sadar. Iya juga sih, ya? Dan, kalimat terakhir terasa sangat manis di hati ini.

Di samping itu, saat saya nengok dia ke Pondok pada bulan lalu, ia menekankan, "Aku bisa cerita apapun dan apa adanya ke Bunda, karena Bunda lah yang paling ngertiin aku. Makanya aku butuh Bunda selalu datang sebulan sekali ke Pondok, kan memang boleh."

Saya memerhatikan. Memang, saat dia telepon dengan kedua jiddah-nya juga jid-nya dari Pondok, gayanya beda sekali, lebih ke menenangkan, menyatakan bahwa segalanya baik dan mudah buat dia di Pondok. Pun saat ia bicara dengan ustadzahnya, ia tampak tenang, lembut, dan dewasa. Padahal, saat bersama saya, beda banget, manjanya keluar, semua keluhan ia tuangkan, sampai saya kadang mau nangis sendiri dan berusaha menguatkan diri ini -- secara dia sedang bersandar pada saya, ya saya harus kuat.

Dan, walaupun setiap habis bertemu dengannya saya babak belur -- karena, selain lelah fisik juga lelah jiwa akibat harus berpura-pura bersikap kuat dan tegar di hadapannya -- saya sudah berjanji untuk selalu datang pada jadwal bulanan kunjungan orang tua ke Pondok.

Iya, Nak, Bunda akan selalu datang, akan berusaha untuk hadir. Walau hanya sehari dalam sebulan. Demi menjadi zona nyaman kamu. Agar kamu dapat menjadi diri sendiri sekaligus menjadi my little baby girl saat kamu bersandar pada Bunda. Akan Bunda serap semua yang merisaukan hatimu, agar kamu dapat kembali bersinar.

Kedua jiddahnya, juga abinya, berpendapat sama. Bahwa foto membuktikan. Selepas bertemu saya, Hana tampak segar dan ceria, sementara saya tampak kuyu. Hahaha!

Yeah, maybe that is what a mother is for. Sebagai sponge penyerap kegalauan, sekaligus matahari pemantul sinar bahagia.

Hal yang dulu tak saya sadari sepenuhnya sebelum si Sulung beranjak remaja, sebelum ia memasuki fase gaje alias nggak jelas ini; dewasa belum, anak-anak juga bukan. Hehe...

However, Nak, you were born with no instruction, help me mother you better, okay? Let's learn and grow together.

Love you to the moon and back. Thank you for considering me as your comfort zone, I am honored.

💕 Tulisan di atas saya buat pada tanggal 1 September 2019, dan saya tambahkan lagi  tanggal 6 September 2019, di atas gerbong kereta pulang selepas menengok si Sulung dan hari ini tanggal 7 September 2019, di meja kerja saya. Namun tambahannya saya pindahkan ke sini: Kunjungan Ketiga yang Meninggalkan Kenangan (sila di-klik).

Comments

Popular Posts