Decluttering alias Beres-beres

Masalah terbesar saya dalam hal beres-beres adalah attachment pada barang. Parah, ya? Sense of belonging saya memang tinggi. Padahal, semua hanya dititipkan ke saya, bukan punya saya. Tapi baru belakangan saya menyadari semua itu.

Sebenarnya saya ingin memunyai itu bukan karena saya kemaruk atau apa. Tapi, saya orangnya baperan (yeah, I bet everyone knows this). Jadi, saya hampir selalu punya kenangan pada tiap barang. Percaya atau nggak, barang dari jaman saya SMP masih ada yang tersimpan dengan sangat baik. Kalau saya nggak harus pindah dari rumah masa kecil saya, wah, barang dari jaman saya SD atau bahkan TK sekalipun jangan-jangan masih ada!

Semata karena semua punya kenangan buat saya. Gak hanya kenangan manis, bahkan kenangan pahit. Saya simpan semua.

Belum lagi kalau soal buku. Jangan ditanya deh. Saya simpan semua buku kesayangan saya. Dan kesayangan itu gak hanya satu, sepuluh, atau seratus, setelah dipilih dan dipilah pun, masih ada ratusan yang tersisa. Itu BUKU KESAYANGAN saya ya, belum termasuk buku punya si Abi atau si Bungsu. Oh ya, kalau buku saya dan si Sulung beririsan, sih. Mungkin 50% buku dia ya buku saya. Sisanya yang 50%, buku dia yang saya nggak tertarik atau belum baca.

Buku ini yang sebenarnya menjadi masalah besar. Rumah saya sangat seuplit, hanya kurang dari 50 m2 luasnya sempitnya. So, yeah, it’s kinda full. No. It IS full.

Sudah lama saya ingin decluttering, terinspirasi oleh beberapa kawan online – saya sangat bersyukur punya banyak kawan online yang inspiratif, Alhamdulillah. Tapi dorongan itu belakangan semakin mendesak.

Salah satunya adalah oleh anak sulung saya yang di pesantren hanya punya lemari kecil ukuran 1 x 1 meter (kalo nggak salah ingat; kalaupun lebih besar dari itu, hanya sedikit lebih besar), yang dibagi menjadi 4 kotak. Tempat dia menyimpan barang-barang harian yang dia perlukan. Ada satu koper yang ditinggal dan ditarok di atas lemari, yang isinya barang-barang sewaktu yang hanya bisa diambil sekali dalam seminggu, karena jadwal menurunkan koper hanya pada hari Jumat saat mereka libur, jam empat sore kalau tidak salah.

Saya pikir, betapa anak saya diajarkan untuk tidak punya attachment berlebihan atas barang. Disimpan dan diambil karena perlu saja. Saya, yang bertekad dalam hati untuk fair terhadap si Sulung – misalnya karena di sana ia belajar agama banyak, saya juga di sini ikut memperdalam agama semampu saya, jadi merasa memang ini sudah waktunya saya decluttering alias beres-beres rumah. Agar sama-sama belajar tidak punya attachment atas barang.

Lalu beberapa hari silam, saya melihat IG Story salah satu kawan inspiratif saya, Sinta Nisfuanna, yang memposting buku karya Marie Kondo tentang decluttering. Sebelum mencari bukunya, saya cari tahu dulu konsep yang disuguhkan. Jadi, menurut Marie Kondo, dalam beberes, kita jangan fokus menyingkirkan barang-barang semata, namun lebih ke menyimpan barang-barang yang saat disentuh memercikkan kebahagiaan (tokimeku) di hati. Lah, kalo saya yang baperan gini, apa nggak semua barang saya balikin lagi buat disimpan dan nggak dilepas, ya?

Misalnya baju si Sulung saat bayi, ada dua atau tiga yang masih bagus yang saya simpan – ini sudah berkurang, lho. Lalu baju si Bungsu saat bayi, ini yang masih agak banyak. Tapi mungkin saya masih salah memahami konsepnya, karena belum membaca sendiri bukunya. Mari kita cari setelah ini.

Kembali ke decluttering. Jadi, untuk meminimalisir barang-barang di rumah saya, saya akan melepaskan dengan cara memberikan kepada yang membutuhkan dan juga menjual. Kenapa menjual? Karena, selain memang barang koleksi yang berharga, memang beberapa adalah barang jualan saya. Di antaranya buku dan kain. Tapi untuk memilih dan memilah kedua jenis barang ini butuh waktu. Kapan saya menjualnya masih belum tau, tapi harus segera. Mengenai di mana-nya, si Abi menyarankan di marketplace. We’ll see.

Apapun dan bagaimanapun itu, decluttering harus dimulai. Target saya, insya Allah, saat anak saya pulang nanti untuk liburan di bulan Maulid, pada bulan November, sudah ada perubahan di rumah saya yang sempit ini. Pinginnya saat ia masuk, ia akan merasa lega dan bahagia.

Dari salah satu taklim saya belakangan ini dengan Ustadzah Halimah Alaydrus, saya tercerahkan tentang betapa kita sebaiknya memuliakan orang-orang yang belajar agama, terutama para santri. Karenanya, saya ingin memuliakan anak saya dengan membuatnya bahagia dan tercengang saat pulang nanti. Insya Allah. Bismillah. (Kok jadi deg-degan ya, kalau sudah bertekad dan semacam membuat janji begini? Wkwkwk! Please, doakan saya!)

So, demikian cecuitan saya dua pagi ini sehubungan dengan decluttering -- hihi iya nulisnya dua hari di antara kesibukan antar anak sekolah dan kejaran deadline. Oh ya, satu hal lagi, decluttering ini membuat saya menahan diri banget untuk nggak belanja. Sempat lihat buku, abaya, mukena, dan jilbab yang membuat hati saya tergetar gitu, tapi saya tahan. Pokoknya nggak boleh nambah barang! Plus, awal bulan depan juga memang jadwalnya bayar kontrakan, sih, jadi aja deh hemat. Wkwkw! Doakan hemat saya untuk seterusnya ya. 

Karena kata Rasulallah SAW juga, kebahagiaan bukan terletak pada banyaknya barang yang kita miliki, tapi pada kelapangan hati dan jiwa (kurang lebih begini saya menafsirkan hadits di atas, CMIIW ya).

Anyway, kalau ada yang punya tips beres-beres yang jitu, monggo berbagi. Mana tau cocok sama saya. Hatur nuhun!

Comments

Popular Posts