Afirmasi untuk Sang Buah Hati

Di antara malam yang temaram, saya ucapkan beberapa patah kata untuk anak saya tercinta di pondok pesantren:

"Putriku, Bunda ikhlas kamu belajar di pesantren. Bunda bahagia kamu belajar di pesantren. Bunda doakan kamu mendapatkan banyak manfaat dengan menjadi santri di pesantren. Aamiin."

Alhamdulillah, setelah menghadiri acara tausyiah Ustadzah Halimah di Masjid Al-Ittihad pada hari Selasa silam dan meminta air doa dari beliau, hati saya lebih lapang. Saya tidak se-mellow sebelumnya.

Rindu tentu tetap rindu, namun kecemasan dan kegundahan saya Alhamdulillah seakan terkikis. Tak ada lagi semacam bongkahan yang menyesakkan di dada saya saat teringat akan anak saya. Masya Allah. Jazakillah khoiron katsiron, Ustadzah sayang.

Dan dua malam silam, Alhamdulillah saya sempat berbincang dengan salah seorang ummi dari santri lainnya. Dengan dua bekal tersebut, saya pun bertekad untuk semakin kuat dan semangat. Meskipun saya kerap menghitung hari, menanti berakhirnya bulan Juli agar dapat berkunjung, tapi Alhamdulillah keadaan saya lebih baik dari sebelumnya.

Saya sempat berpikir, saya ini lebay sangat dan enggak normal karena begitu tersiksa rindu. Sungguh saya berpikiran seperti itu. Namun obrolan dengan ummi santri lain tersebut membuat saya lega. Ia ternyata juga kadang sedih dan menangis jika teringat putrinya. Tapi ia lebih tegar karena di keluarga dan lingkungannya banyak yang sudah mondok. Lebih banyak pengalaman dan contoh dibandingkan dengan saya.

Sementara untuk keluarga besar dari pihak saya, ini adalah pertama kali anak dikirim ke pondok (kalau dari pihak abinya ada salah seorang kakak sepupu anak saya yang pernah mondok), tapi saya tak terlalu mendalami bagaimana perasaan kakak ipar saya itu berjauhan dari anak. Karena, jujur, saat itu saya belum ada keinginan untuk mengirim anak ke pesantren. Jadi ini adalah hal baru bagi saya.

Alhamdulillah setelah saya mengenal Ustadzah Halimah, saya berubah pikiran. Harapan saya tentu ingin anak saya seperti beliau. Tapi kalaupun tidak, dengan dididik di pesantren, minimal ia dapat menjadi muslimah yang sholehah, yang jauhhh lebih baik dari bundanya yang bergelimang dosa ini. Aamiin.

Karenanya, walau kadang hati rasanya ingin segera terbang ke pondok sekadar untuk memeluk anak, namun saya menahan diri. Takkan saya mengikuti hawa nafsu ini. Saya akan menanti hingga tiba waktunya saya diperbolehkan menemuinya. Walau terkadang saya merasa jadi agak cerewet, bertanya kepada Ustadzah di sana tentang keadaan anak saya. Ya enggak setiap hari sih, kira-kira setiap seminggu atau sepuluh hari sekali. Semoga tidak terlalu mengganggu. Aamiin.

Terlebih lagi, kemarin saya meet up dengan dua sahabat yang pernah nyantri. Dari kisah mereka (yang satu pulang setelah kurang lebih seminggu di pesantren, yang satunya lagi pulang setelah empat tahun, di jenjang kelas 2 SMA), saya menyimpulkan, jika ingin anak bertahan di pesantren, kita sebagai orang tua juga harus menahan diri. Jangan setiap hari dijenguk dan selalu kuatkan hati.

Sehingga saya pun terus berusaha mencari cara agar hati ini lebih lapang, agar anak saya juga tenang belajar di sana. Salah satu ikhtiar saya, seperti saya sebutkan di atas adalah memohon doa dari Ustazah. Sambil terus memperbaiki diri dalam ibadah, dalam kedekatan dengan-Nya.

"So, Putriku, keep hamasah! Kita menuju kebaikan bersama, ya?! Kamu di sana, Bunda di sini. Insya Allah Bunda nggak akan mengkhianati perjuangan kita. Bismillah."

Sebagaimana pesan di salah satu postingan IG Ustadzah Halimah belum lama ini, "Mendidik anak adalah menanam. Bagaimana anakmu sekarang adalah hasil tanammu di masa lalu. Dan bagaimana ia menjadi di masa depannya nanti, bergantung bagaimana kamu -- sebagai orang tua -- menanamnya di masa sekarang. Maka, baik-baiklah saat menanam agar kamu memetik buah yang manis di masa depan."

Comments

Popular Posts