Mellow dan Dramanya Sang Emak dan Sang Anak (1)

Inysa Allah saya ikhlas dan bahagia melepas anak ke pesantren. Bahkan itulah cita-cita saya sejak lama.

Ketika mendapatkan informasi mengenai pesantren yang anak saya tinggali sekarang ini, sekitar 2-3 tahun silam, saya sudah bernegosiasi dengan anak saya agar ia mau pindah dari sekolahnya di sebuah SMP Negeri pada saat itu ke pesantren. Namun, hasil negosiasi berkata lain. Saya persilakan ia menghabiskan masa belajarnya di SMP tersebut hingga lulus, tetapi setelah itu, ia melanjutkan ke pesantren. Kami setuju dan sepakat.

Kami menyempatkan diri mengunjungi pesantren ini pada akhir bulan Juli tahun silam. Saya dan anak saya langsung merasa cocok dan jatuh cinta. Setelah melewati proses tes yang tak mudah, anak saya berhasil lolos. Saya sangat bahagia dan bersyukur.

Persiapan kebutuhan di pesantren pun dimulai sedikit demi sedikit. Namun ternyata sekitar sebulan menjelang hari pertamanya di pesantren, anak saya meminta agar kami tak membahas dulu mengenai kepergiannya ke pesantren. Baiklah, saya menuruti. Sekitar dua minggu sebelum hari H, ia menyatakan bahwa is sudah lebih siap untuk mencari kebutuhan untuk di pesantren. Tapi, malah saya yang memintanya menunda dulu. Saya mendadak mellow, baru saya sadari, saya akan berpisah dengannya.

Kami menertawakan hal ini. Menyadari bahwa kami berdua tidak sesiap itu untuk berpisah.

Menjelang seminggu keberangkatan kami menuju pesantren, mama saya sakit dan dirawat di Rumah Sakit. Satu sisi, rencana persiapan kami agak tersendat. Tapi di sisi lain, Allah memang Maha Sempurna dengan Segala Ketetapan-Nya. Mau tak mau, pikiran saya sedikit teralihkan dari rasa sedih akan perpisahan saya dan anak karena lebih banyak fokus ke Mama.

Alhamdulillah setelah empat hari, Mama diperbolehkan pulang. Persiapan pun kembali dilakukan. Hingga hari terakhir menuju keberangkatan, kami putuskan untuk tidak ke mana-mana. Diam saja di rumah. Jika ada kebutuhan yang belum dipersiapkan, akan kami beli di kota dekat pesantren saja. Lebih simple bila seperti itu.

Saya sengaja mempersiapkan dua hari liburan keluarga inti kami di dekat pesantren sebelum mengantar anak saya yang sulung ini. Dua hari itu saya lihat sesekali anak saya ceria, namun juga sedih. Sampai saya tanyakan, apakah ia ingin mundur. Alhamdulillah jawabannya adalah tidak. Ia hanya merasa sedih harus berpisah dengan saya dan sahabat-sahabatnya di Jakarta, juga karena ini adalah hal baru baginya, ada sedikit rasa takut.

Anak saya ini saat SD adalah korban bullying. Tak ditemani oleh teman-teman perempuannya selama beberapa saat untuk alasan yang tak jelas. Saya datangi wali kelasnya dan tanyakan apakah anak saya yang salah dan bermasalah, menurut wali kelasnya, tidak. Syukurlah anak laki-laki mau bermain dengannya. Namun, Allah memang Maha Perencana Yang Ulung. Anak saya sekarang bersahabat dengan teman-teman perempuannya itu.

Namun, ternyata bullying itu membekas di hatinya. Saat masuk SMP pun begitu, dia sempat takut tak mendapat teman. Kali ini, menuju jenjang SMA di pesantren, ia pun merasakan ketakutan yang sama. Walau begitu, saya ingatkan, insya Allah di pesantren kan diajarkan akhlak yang baik. Jadi, semua akan baik-baik saja. Toh di SMP semua juga baik-baik saja, dan ia mendapatkan sahabat-sahabat baru dan tidak terjadi bullying lagi atas dirinya. Tapi trauma tetaplah trauma, masih ada sisa walau sedikit.
Katanya, selama di SMP, dia masih tinggal di rumah dan dia masih punya saya. Dia bisa cerita kepada saya tentang apapun. Dan saya selalu bisa memberi masukan. Di pesantren, tidak ada saya. Nyes hati saya mendengarnya. Memang ia tipe anak yang senang bercerita. Apalagi dalam sebuah penelitian, kabarnya perempuan memang butuh berbicara sebanyak 20 ribu kata per hari. Dan selama ini saya lah tempat curhatnya. Begitu pula sebaliknya.
Walau begitu, Alhamdulillah, saat saya sampaikan ke Ustadzah pimpinan pesantren tentang sifat anak saya yang suka curhat ke saya, Ustadzah bilang, ia bisa cerita dan curhat ke Ustadzah pimpinan atau ke Ustadzah manapun yang ia ingin. Mengenai sang Ustadzah pimpinan, akan saya ceritakan lain waktu, karena saya sangat terkesan kepada beliau.

Selepas menitipkan anak saya kepada Ustadzah tersebut, tiba lah saat berpisah. Sebelumnya, di rumah, saya ingatkan kepada anak saya yang bungsu untuk tidak menangis saat berpisah dengan si Kakak, karena kita tak ingin membuatnya sedih. Tapi ternyata, malah saya yang berurai air mata. Saya baru menyadari dan bergumam dalam hati, Ya Allah, saya benar-benar akan berpisah darinya, walau sementara, namun tak ayal lagi, dada saya terasa sesak...

(Bersambung)

Comments

Popular Posts