Mengirim Anak Mondok, Berat Enggak, Sih?

Ini menarik. Buat saya, paling tidak. Hehe...

Soal berat, ya bisa dibilang berat juga, sih. Tapi jujur, bagi saya, lebih berat menjaga anak di luar pondok. Di pondok, yang dijadikan role model adalah para ustadzah yang secara ibadah terjaga, yang auratnya tertutup, yang paham agama karena mereka juga jebolan pondok (ini saya bicara khusus untuk putri ya, karena baru punya pengalaman mengirim anak perempuan mondok).

Sementara di luar pondok? Wah, bermacam-macam ragam manusia yang dapat dijadikan contoh oleh anak kita. Iya kalau yang baik, bagaimana jika yang kurang baik yang dijadikan contoh?

Jika sang ibu memang juga sesuai dengan ketiga kriteria di atas sih mending ya, bisa dijadikan contoh yang sempurna untuk anak.

Nah, kalau kayak saya, yang agama juga masih belajar, menutup aurat juga masih berjuang agar sesuai tuntunan, ibadah juga masih perlu banyak perbaikan di sana-sini, Pondok Pesantren adalah jawaban dari semua kekhawatiran saya.

So, kalau begitu, kenapa saya bilang berat? Dan, sebenarnya, apa aja sih, yang bikin berat? Hmm... coba saya breakdown satu per satu ya.

1. Faktor Perasaan

Nah, buat saya yang baperan, faktor perasaan adalah faktor yang terberat saat ini. Karena, saya tuh orangnya cukup rempong soal anak. Bawaan keluarga sih, karena keluarga saya juga gitu, sangat protektif sama anak.

Almarhum Jid saya (kakek) dulu pernah sampai diri di teras sambil berkacak pinggang menunggu saya yang belum pulang juga sementara jam sudah baru menunjukkan setengah tujuh malam. Tapi bagi Jid saya, itu sudah lewat Maghrib, hari sudah gelap, sudah lewat jam malam. Pulanglah si saya yang masih berseragam putih abu-abu (ho-oh, pas SMA) dengan santai sementara Jid masih kacak pinggang di teras. Kata Jid, "Kalau sampai jam 7 malam belum pulang juga, Jid mau lapor polisi." Lah, saya bingung. Perasaan sudah izin kalo saya mau ngaji/liqo di rumah teman di Tebet Timur (rumah Jid saya, tempat saya tinggal saat itu, berlokasi di Tebet Barat, yang kalo naik bus Metro Mini dengan ngetem sekalipun paling lama 15 menit aja dari Tebet Timur). Ternyata kemudian saya nyadar kalo saya izinnya itu ke Jiddah aja dan lupa izin ke Jid. Tapi kalaupun izin ke Jid juga, mungkin beliau tetap khawatir, sih. Ya, intinya, kekhawatiran berlebih ini memang sudah in the blood alias mendarah daging.

Dan ini terbawa ke dalam pola pengasuhan anak saya. Kalau memungkinkan, saya selalu berusaha menemani anak saya atau minimal saya selalu berusaha memantau di mana anak saya berada, sedang melakukan apa, dengan siapa. Jadwal anak juga harus selalu jelas saya ketahui. Jika saya kurang jelas, akan saya WA. Bukan hanya itu, hingga masalah pengambilan keputusan, anak selalu melibatkan saya, menanyakan pendapat saya.

Sehingga, saat anak mondok, saat saya tidak bisa memantau dengan detail setiap kegiatannya, ketika saya tidak bisa lagi terlibat intens dengan keputusan-keputusan yang ia ambil, saya merasa seperti berada dalam fase Post Power Syndrome, yang kemudian bertransformasi menjadi rasa khawatir yang berlebih. Parah, ya?

Ya memang begitu lah adanya. Perasaan saya seperti teraduk-aduk. Satu sisi, sangat bahagia banget anak bisa mondok, tapi di sisi lain, seakan ada yang hilang dari hidup dan jiwa saya.

Namun, saya selalu mengingatkan diri ini bahwa anak saya berada di tempat yang jelas, bersama para wanita sholehah, dan memiliki ummah (Ustadzah pimpinan di ponpes) yang sangat perhatian. Perlahan-lahan, hati saya pun menjadi lebih tenang.

2.  Faktor Jarak

Dari beberapa pondok pesantren yang masuk kriteria anak saya, saya, dan abinya, ini adalah ponpes yang terbilang lumayan dekat. Selain itu ada yang dekat, agak jauh, dan jauh. Namun, ini adalah ponpes terdekat yang dapat menerima anak saya. Tentunya setelah melalui dua tahap tes yang tidak mudah. Kami sangat bersyukur anak saya diterima di sana.

Namun, untuk bisa ke sana, harus naik kereta selama tiga jam lebih dan dilanjutkan dengan 40 menit berkendara. Sementara kalau naik mobil bisa 4-6 jam, tergantung macet tidaknya. Mungkin kalau macet banget, bisa 6 jam lebih.

Terkadang nih, ya, kita kan kalau rindu sama seseorang, melihat tempat dia tinggal saja hati rasa bahagia, ya kan? Nah, ini, boro-boro lihat tempat tinggal, melihat  jalanannya aja nggak bisa.

Saya tak kehabisan akal. Tahu apa yang saya lakukan? Dengan melasnya, saya pun membuka aplikasi Google Map dan berkelana di sekitar ponpes anak saya, melihat-lihat jalan dan gedung tempat anak saya mondok, sambil membayangkan sedang berada di sana. Apakah solusi ini membantu? Lumayan, tapi kerap juga karena melihat itu semua, hati ini serasa ingin segera terbang saja ke sana. Lupakan kereta, lupakan mobil, pokoknya mau terbang! Wkwkwk.

3. Faktor Nggak Tega

Eh, ini beda enggak sih dengan faktor perasaan? Hihi... anggap beda aja lah ya.

Ponpes anak saya bangunannya nyaman, kamarnya rapi, kamar mandinya sangat bersih. Bahkan, jujur aja, keadaan di sana jauh lebih nyaman daripada keadaan rumah kontrakan saya yang sangat sederhana dan acakadul.

Di samping itu, di ponpes anak saya, makanan sangat terjamin. Bahkan saat ia tes masuk yang mengharuskannya mondok 3 hari di sana saja, dia cerita, lauknya itu sop kambing, ikan sepotong besar, ayam, dll. Intinya, saya nggak khawatir dia kelaparan. Karena, prinpsip ponpes tersebut adalah, santri jangan sampai sakit, galau, atau nggak nyaman, hanya karena masalah makanan, mereka ingin santri bisa fokus belajar. Keren, kan?

Lah trus, jadi ini saya nggak tega soal apanya? Hihi... ini soal cemilan dan jajanan kesukaan saya dan anak saya di rumah. Ada beberapa kesukaan kami yang kebetulan sama. Nah, selama dia nun jauh di sana, saya kok mau beli jajanan tersebut rasanya nggak tega. Masa saya makan dan minum kesukaan dia sendiri di sini, sementara di sana dia enggak. Akhirnya, saya urung membeli. Daripada membeli lalu saya makan atau minumnya dengan hati teriris-iris, ya kan?

Nah, yang lucu lagi, anak bungsu saya menolak jalan-jalan ke mall dekat rumah kami yang memang sesekali jadi tempat jajan kami sekeluarga. Dia hanya mau ke sana jika bersama si kakak. How sweet! Gak sangka juga ia bisa memutuskan begitu, sehingga jadilah selama hampir 40 hari si kakak di sana, kami nggak nge-mall.

So, no kudapan favorit, no nge-mall. Irit sih jadinya. Manajer keuangan rumah tangga mah senang-senang aja, sih. Wkwkwk...

4. Faktor Kesehatan

Nah, ini juga yang sempat membuat saya gimanaaa gitu. Sebelum berangkat, ada sedikit masalah dengan kesehatan anak saya. Saya mendatangi dua dokter spesialis berbeda dengan keahlian masing-masing khusus untuk memeriksakan anak saya. Bahkan saya sempatkan juga konsul santai dengan dokter yang biasa menangani Mama, yang kebetulan ahli juga dalam masalah ini, tapi untuk orang dewasa, bukan anak-anak.

Pengobatan anak saya belum tuntas betul, tapi dengan mengucap Bismillah, saya tetap kirim anak saya ke Pesantren meskipun salah satu dokter tersebut menyarankan agar jangan ke pesantren supaya bisa menyelesaikan serangkaian tes lanjutan dan pengobatan lebih dulu.

Namun kami sekeluarga sepakat, insya Allah tes dan pengobatannya dapat dilanjutkan saat anak saya libur Maulid pada bulan November mendatang. Tentu ada ikhtiar lain sembari menunggu saat liburan nanti, selain menjaga pola makan, saya minta anak saya untuk terus berdoa, sembari saya juga memohon doa dari orang-orang alim yang saya kenal. Juga dari para pembaca blog ini, mohon doa untuk anak saya agar sehat selalu ya, syukron, jazakumullah khoiron.

Sementara tentang masalah kesehatan yang secara umum terjadi di Pesantren sempat beberapa kali juga saya dengar. Namun, masih dengan Bismillah, saya halau kekhawatiran itu. Karena, sehat maupun sakitnya kita manusia, semua tentu dengan seizin Allah jua. Toh jika tiba-tiba timbul rasa cemas tentang kesehatan anak saya, saya dapat bertanya kepada ustadzah anak saya di pondok, atau mengadu dan memohon langsung kepada Yang Maha Kuasa agar anak saya dijaga, dilindungi, dan diberikan kesehatan. Aamiin.

Apa lagi ya? Hm... sepertinya hanya empat itu untuk sementara ini.

Dan seperti yang dapat dibaca di atas, setiap faktor pemberat, insya Allah selalu ada faktor peringannya. Itu lah kehidupan yekan. Kadang hujan, kadang pelangi, kadang terik, kadang sejuk. Dinikmati saja, dijalani saja. Bismillah.

So, jadi, kan, mengirim anak mondok? #ayomondok

Comments

Popular Posts