Perjalanan Baru sebagai Seorang Ibu

Bismillahirrohmanirrohim.

Alhamdulillah, setelah sekian lama, akhirnya saya ngeblog lagi. Keputusan ini saya ambil tak lama setelah saya mengantar anak pertama mondok di sebuah pesantren. Mungkin setelah ini, saya memang akan lebih sering ngeblog tentang perasaan saya sebagai ibu yang anaknya mondok di pesantren. Hehe.

Awalnya, beberapa hari pertama setelah perpisahan, saya sangat sedih berjauhan dengan anak. Selalu saja menangis setiap kali teringat. Akhirnya saya berselancar di dunia maya dengan kata kunci "tips melepas anak ke pesantren" atau semacam itu, saya lupa persisnya. Dan menemukan sebuah artikel yang berjudul "Ibu, Bersabarlah saat Melepas Anak Mondok ke Pesantren," yang serta merta membuat saya semakin terisak. Loh, bukan menenangkan? Menenangkan kok, namun sangat membangkitkan rasa haru.

Inilah petikan arti artikel tersebut yang menerbitkan air mata di pelupuk:

Tapi para ibu, ingatlah bahwa dulu ibundanya Imam Syafi'i pun merasakan hal yang sama. Hanya saja yang dilakukan beliau adalah bersabar demi ilmu din yang akan dituntut putranya. Di malam sebelum Imam Syafi'i pergi untuk menuntut ilmu, sang ibu berdo'a dalam keheningan,
“Ya Allah, Rabb yang menguasai seluruh alam. Anakkku ini akan meninggalkanku untuk perjalanan jauh demi mencari ridha-Mu. Aku rela melepasnya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Maka hamba memohon kepadaMu ya Allah... mudahkanlah urusannya. Lindungilah ia, panjangkanlah umurnya agar aku bisa melihatnya nanti ketika ia pulang dengan dada yang penuh dengan ilmu-Mu.”
Beliau khusyu' mendoakan Imam Syafi'i hingga meneteskan air mata. 
Dan tatkala Imam Syafi'i hendak pergi ke Madinah (kota yang akan menjadi tujuannya menuntut ilmu), sang Ibu melepasnya dengan motivasi dan harapan, beliau meyakinkan putranya bahwa Allah akan memberinya kemudahan.
“Pergilah anakku,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
“Allah bersamamu. Insya Allah engkau akan menjadi bintang paling gemerlap di kemudian hari. Pergilah... ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong”
Demikianlah sedikit kisah dari Ibunda Imam Syafi'i yang patut kita jadikan teladan saat melepas anak pergi dalam rangka mencari ilmu.
Masya Allah, bahkan sekelas ibunda Imam Syafi'i juga merasakan hal yang sama. Saya tak lagi merasa sangat kerdil karena kesedihan dan kerinduan yang memuncak terhadap anak saya.

Saya kembali mencari artikel lain. Dan, Alhamdulillah menemukan beberapa. Namun ada yang seakan 'menegur' orang tua -- terutama ibu -- yang sedih berpisah dengan anak. Ada pula yang mengambil sudut pandang dari si anak, padahal yang saya cari adalah artikel yang membahas bagaimana caranya agar orang tua dapat menghalau kesedihan dan kerinduan.

Namun, Alhamdulillah, setelah saya sedikit curhat di group Whatsapp Wali Santri, ada yang menjapri saya dan mengingatkan saya. Hubungan batin ibu dan anak sangat kuat. Jika saya membiarkan diri terlena dalam kesedihan dan kerinduan, anak dapat merasakan. Sebaiknya saya menyibukkan diri agar tidak selalu merasa sedih. Saya segera beristighfar. Sungguh, nasihat itu sebelumnya sering saya dengar. Namun pada detik itu, terasa sangat tepat di telinga saya. Jazakillah khairon, Ummi Shabirah, Kak Dahlia.

Saat itu, air mata saya merebak, namun hati saya bertekad. Saya harus tegar, harus kuat. Saya pasti bisa. Demi anak saya, agar ia juga merasa ringan di sana dan tidak melulu teringat kepada saya dan rumah.

Alhamdulillah walau dengan susah payah, perlahan saya berhasil menghalau kesedihan saat rindu menerpa. Rindu tentu masih saya rasakan. Namun keinginan kuat untuk menguatkan anak saya di sana insya Allah lebih besar, sehingga saya terus berusaha dan berjuang menenangkan hati yang gelisah ini.

Sebenarnya ada beberapa sebab saya se-mellow dan sedrama ini. Insya Allah akan saya bahas pada postingan selanjutnya.

Comments

Popular Posts