Mellow dan Dramanya Sang Emak dan Sang Anak (2)

Menyadari bahwa kami akan segera berpisah, bahwa saya akan meninggalkan anak saya di pondok, pikiran saya seakan tidak jejeg (apa ya bahasa Indonesianya hehe). Ya, intinya tidak fokus, begitu lah.

Saat sudah di parkiran, saat anak saya siap melepas kepulangan kami kembali ke Jakarta, setelah ia berpelukan dengan abinya dan siap berpelukan dengan saya, saya menyadari, tas ransel coklat, yang sebelumnya dipakai untuk membawa sebagian barang anak saya dan hendak saya bawa pulang, tertinggal di kamarnya. Kami kembali ke dalam, mengambil tas. Lalu kami kembali ke luar.

Saya letakkan tas coklat itu di mobil sewaan kami. Siap untuk berpisah. Tapi kemudian saya menyadari. Tas ransel hitam saya tak ada. Astaghfirullah. Ternyata tas ransel hitam saya pun tertinggal di kamar anak saya dan saat tadi mengambil tas ransel coklat, saya tak menyadarinya. Saya putuskan kembali ke kamarnya sendiri untuk mengambil tas itu sementara anak saya menunggu di luar.

Setelah mengambil tas, sambil berjalan kembali ke luar, saya terenyak sendiri. Betapa saya saat itu teramat sangat linglung. Saya mengucapkan istighfar dan mohon kekuatan dari Allah. Saya nggak boleh seperti itu. Saya harus tegar.

Setelah Berurai Air Mata
Di depan pintu pesantren, anak saya telah menanti. Sebelum saya kembali ke mobil, kami berpelukan.

Awalnya, masih saya tahan diri ini agar tak bersedih, jangan menangis, kata saya dalam hati. Namun, ketika isakan anak saya terdengar, pertahanan saya luntur. Ketegaran saya sontak meleleh. Air mata tak lagi dapat dibendung. Kami berpelukan dengan iringan isak tangis, sambil saling mengucapkan 'I love you,' lalu saling mencium, lalu berpelukan lagi, lama. Lalu kami lepaskan. Tapi kemudian kami berpelukan lagi, seakan tak ingin terpisah.

Sungguh, saat itu saya benar-benar baru menyadari betapa saya sebenarnya tidak terlalu siap berpisah dengannya. Apalagi selama empatpuluh hari ke depan kami tidak dapat berkomunikasi ataupun bertemu. Memang itu kebijakan pesantren agar anak dapat fokus dan tidak terpikir untuk pulang. Dan saya sangat setuju karena tak jarang saya dengar anak-anak yang mondok meminta pulang jika dijenguk atau dihubungi oleh orang tuanya pada masa-masa awal tahun ajaran baru.

Akhirnya abinya pun memanggil. Tampaknya drama kami berlangsung terlalu lama dan harus disudahi mengingat saya harus tiba tepat waktu di stasiun. Saya hapus air mata anak saya, saya pandangi wajahnya lekat-lekat, saya ciumi. Ucapan sayang dan cinta kembali terucap dari bibir kami. Termasuk, 'I love you 3000,' hehe.

Kami selfie sejenak. Lalu sambil bergandengan tangan, anak saya mengantar saya ke mobil. Di sana ia berpelukan dengan adiknya. Lama. Ia terisak. Mereka memang sedang dekat-dekatnya, tapi adiknya tak menangis -- akan saya ceritakan secara terpisah tentang ketegaran sang adik ini, yang ternyata merupakan usaha kerasnya agar si kakak tak terlalu sedih. Lalu ia berpelukan lagi dengan abinya. Lalu sekali lagi dengan saya.

Saya lupa tepatnya, apakah saya minta ia masuk, baru kami pergi, atau kami pergi dulu, baru kemudian ia masuk. Intinya kami berpisah. Dan sepanjang perjalanan menuju stasiun, saya menangis.

Saat memasuki perbatasan kota, saya merasa sangat pusing dan mual, rasanya seperti mau pingsan. Sekilas terpikir, saya tak yakin malam itu bisa pulang ke Jakarta dengan kereta. Sempat terlintas untuk buka kamar semalam lagi di hotel untuk beristirahat. Sungguh, saya takut jatuh pingsan.

Akhirnya, untuk menghalau pusing, saya pejamkan mata. Telinga saya masih dapat mendengar sekeliling, tapi kelopak mata saya terasa berat, tak sanggup saya menyibaknya agar mata ini terbuka. Badan pun terasa lemas, dada terasa sesak, ulu hati terasa mual. Saya benar-benar tak yakin saya sanggup melakukan perjalanan kembali ke Jakarta.

(Bersambung)

Comments

  1. Ya ampun Mak. Sampai segitunya. Smga semua berjalan lancar...Makin tegar... kalau anaknya baca gimana nih...

    ReplyDelete

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak asamu di sini, kawan...

Popular Posts