Mengapa Pesantren?

Mengapa tidak?

Keinginan mengirimkan anak ke pesantren timbul sebelum anak saya lulus SD. Namun pada saat itu, selain karena keterbatasan biaya, saya juga belum menemukan pesantren yang saya rasa tepat untuk anak saya.

Ada satu pesantren bagus yang diinfokan kepada saya dan saya sudah lihat hasilnya, banyak santri dan santriwati di sana yang berhasil. Namun sayang, jaraknya jauh. Sehingga, walau biaya mondoknya tidak besar, biaya mengantarkannya tinggi. Karena saya emak yang sangat mellow, tak mungkin rasanya saya melepas anak mondok tanpa mengantarnya, tanpa sering menjenguknya.

Alhamdulillah pada tahun pertama anak saya di SMP, saya tak sengaja mengobrol dengan seorang saudara yang mengirimkan anaknya mondok di sebuah pesantren yang setelah saya ingat-ingat pernah sekilas saya dengar informasinya beberapa tahun silam dari Ustadzah kesayangan saya, Ustadzah Halimah Alaydrus, pada salah satu tausyiah beliau hampir lima atau enam tahun yang lalu (saat itu pesantren tersebut baru hendak didirikan kalau tidak salah). Akhirnya saya pun mencari lebih banyak informasi tentang pesantren tersebut.

Pada saat yang sama, salah seorang teman SD anak saya, yang kemudian juga bersekolah di SMP yang sama dengan anak saya, keluar dari SMP tersebut dan pindah ke pesantren (namun di pesantren yang berbeda dengan anak saya sekarang). Jujur, saya iri. Saya bujuk anak saya untuk pindah juga ke pesantren. Tapi ia bernegosiasi agar boleh menyelesaikan sekolah di SMP tempat ia menimba ilmu saat itu dan baru mondok saat memasuki masa SMA. Dengan berbagai pertimbangan, saya turuti keinginannya.

Namun, sebenarnya awal-awal saya mulai punya keinginan untuk mengirim anak mondok, justru banyak hal yang membuat saya ragu. Berbagai kisah tak sedap saya dengar terjadi di berbagai pesantren (bukan di tempat anak saya sekarang). Mulai dari barang santri yang kerap hilang, santri yang terkena penyakit kulit karena pakaian dalam sering tak sengaja dipakai orang lain atau tertukar, adanya kasus pem-bully-an, dan banyak lagi. Jujur, saat itu semangat saya mengirim anak ke pesantren sempat luntur. Namun, kegelisahan saya akan pendidikan umum juga terus mengusik. Maka, saya putuskan untuk terus mencari informasi dan masukan lain tentang pesantren.

Alhamdulillah saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengobrol dengan beberapa orang tua yang mengirimkan anaknya untuk mondok di pesantren atau dengan mereka yang keluarganya sedang mondok. Dan Alhamdulillah lagi, semakin ke sini semakin banyak masukan positif yang saya terima. Bahwa peristiwa seperti itu hanya segelintir dari kisah di pesantren. Di luar itu, lebih banyak kisah nan indah dan mengharukan. Semangat saya kembali menyala.

Terlebih, di facebook, saya juga Alhamdulillah banyak berkawan dengan para orang tua yang anak-anaknya mondok atau yang berniat mengirim anak ke pesantren. Saya baca status-status mereka, saya resapi, dan semangat saya semakin menggebu. Apalagi kisah dan informasi tentang pesantren yang hendak dituju oleh anak saya semua baik. Keraguan saya semakin sirna.

Tetap saja, pertanyaan itu kembali diajukan kepada saya. Kenapa harus ke pesantren? Toh anak saya sudah ikut bimbel agama setiap Sabtu. Memang benar, di bimbel tersebut, anak saya mendapatkan pelajaran agama di satu hari itu, mulai dari jam 2 siang hingga jam 5.30 sore. Namun, apa kabar dengan hari Minggu hingga Jumat?

Jujur, saya sebagai ibu merasa jauh dari kata cukup dalam hal ilmu agama. Sehari-hari saya pun sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak dapat mengarahkan kebiasaan yang dekat dengan tuntunan sunnah. Untuk belajar dan mengejar ketinggalan agar dapat mendidik anak sebagaimana seorang ustadz atau ustadzah mendidik para santri, rasanya tak hanya butuh setahun dua tahun. Yang ada, anak saya keburu dewasa dan semakin jauh dari ilmu agama (Naudzubillah min dzalik).

Ya, saya harus jujur dalam hal ini, memang harus saya akui, begitu adanya. Karena pemikiran ini merupakan salah satu pendorong saya untuk menitipkan anak kepada yang lebih mampu mendidiknya agar lebih dekat kepada Allah.

Dan, untuk saya, pesantren memang solusi yang terbaik.

Terlebih lagi, semakin saya menua (oke, akhirnya terpaksa ngaku tua, yekan?), saya semakin sadar, bahwa sandaran terbaik adalah Allah SWT; bahwa harapan terindah adalah harapan yang digantungkan kepada Allah SWT; bahwa yang paling menyayangi kita sang makhluk adalah Allah SWT Sang Pencipta.

Setelah menyadari semua itu, tega kah saya, sebagai orang tua, tak mendekatkan anak-anak saya kepada-Nya? Saya tidak tega. Saya tak ingin anak-anak saya menunggu hingga usia 40 tahun untuk dekat kepada-Nya. Saya ingin sepanjang hidup mereka, mereka dekat dengan-Nya.

Sejarah kelam jangan sampai berulang. Mata rantai kefakiran ilmu agama ini harus dihentikan. Dan, siapa tahu, dengan ilmu agama yang mereka miliki, nantinya anak-anak saya dapat mendidik sendiri anak-anak mereka.

Walau begitu, saya akui, banyak pula orang yang mengenyam pendidikan umum namun selalu dekat dengan-Nya. Banyak anak yang tak sekolah di pesantren namun berakhlak baik dan sangat sholeh/sholehah. Memang benar adanya. Mungkin mereka memiliki orang tua yang dapat mendidik dengan sebaik-baiknya, yang memilki pemahaman agama yang sangat luas, yang dapat menjadi teladan. Namun, saya merasa saya bukan orang tua sehebat itu. Karenanya, sekali lagi, bagi saya, pesantren adalah solusi.

Bukan, saya memilih menitipkan anak di pesantren bukan karena saya hendak lepas tangan atas pendidikan anak saya. Andai ilmu agama saya mumpuni, tentu tak ingin saya terpisah barang sedetik pun dengannya. Siapa yang tak ingin selalu bersama anak? Tapi harus saya kalahkan hawa nafsu ini demi kebaikan anak saya.

Ah, tapi sejak tadi saya membahas tentang keinginan saya, bagaimana dengan keinginan anak saya?

Sebelum mengirimkan anak mondok, tentu kami banyak berdiskusi. Anak saya paham betul alasan saya ingin agar ia mondok. Ia juga sering mendengar kisah tentang kehidupan di pesantren dari ustadzah-ustadzahnya di tempat bimbel agama.

Bahkan dari mereka ia terinspirasi untuk menimba ilmu agama di Tarim, Hadramout, Yaman. Atau kalaupun kuliah di tanah air, ia ingin melanjutkan ke Institut Agama Islam Darullughah Wadda'wah alias Dalwa, jadi bisa sambil nyantri. Dia sempat bilang ingin mengambil jurusan Syariah. Tapi itu sebelum ia tahu kalau di Dalwa juga ada Prodi Bimbingan dan Konseling Islam. Kayaknya ia juga akan tertarik.

Berbekal semua itu, ia turut semangat memilih tempat mondoknya. Kami mendatangi beberapa pesantren dan yang ia tempati sekarang ini memang salah satu yang membuatnya jatuh cinta. Dan tentu saja saya memberi kewenangan memilih pesantren kepada anak saya, karena pada akhirnya, ia yang akan menjalani, bukan saya. Harus ada rasa suka dalam dirinya agar memudahkan proses adaptasi. Saya sekadar memberi pandangan dan masukan.

Mengenai adaptasi, 40 hari pertama anak saya mondok belum lah berlalu, masih setengah jalan. Selama adaptasi ini, orang tua memang dilarang berkunjung ataupun menelepon. Ini cara pondok untuk mempersiapkan mental dan membangkitkan semangat santri dalam belajar. Walau terasa berat, saya menurut, karena para ustadzah lah yang paling tahu bagaimana kondisi santri selama di pondok dan yang terbaik untuk mereka. Mohon doa agar semua lancar untuk anak saya.

Tak dapat dipungkiri, terbersit kekhawatiran di hati, bagaimana jika anak saya tidak betah di sana? Bagaimana jika ada hal yang membuatnya tak dapat melanjutkan? Tapi insya Allah setiap kali kekhawatiran itu datang, doa pun terpanjat. Dan Allah adalah sebaik-baik pembuat ketetapan. Saya pasrahkan semua kepada-Nya.

Sejatinya, memang tak mudah berpisah dengan anak yang sejak bayi bahkan hingga sesaat sebelum ia mondok masih kerap tidur dalam pelukan saya. Air mata saya kerap masih terlinang. Tapi, seperti kata banyak orang...

Lebih baik menangis sekarang daripada menangis nanti di akhirat.

Naudzubillah min dzalik, jangan sampai menangis di akhirat nanti. Allah YahFadz. Semoga kita semua dilindungi dan dapat tersenyum di akhirat kelak. Aamiin ya Robbal 'Alamiin.

Jadi, mengapa pesantren? Well, mengapa tidak?

Ditulis di kamar saya pada tanggal 14 Juli 201, sempat diedit berkali-kali dan akhirnya diposting pada tanggal 16 Juli 2019. Maafkan jika ada yang tak berkenan di hati.

Comments

Popular Posts